Rabu, 27 Januari 2016

TRADISI DI KABUPATEN PATI



Menelisik Tradisi "kabumi (Sedekah Bumi)"  Di Kabupaten Pati
Kabupaten pati merupakan salah satu kabupaten di Jawa tengah yang mempunyai beragam adat budaya dan tradisi, Terletak di jalur pantura, Kabupaten ini tentunya menjadi salah satu tempat untuk singgah bagi mereka yang melewatinya. Kabupaten Pati  ini boleh di bilang mempunyai dua bagian yang satu sama lain saling menguatkan, yaitu daerah Pesisir laut dan daerah pegunungan. Sebagai daerah pesisir laut sejak zaman dulu kabupaten pati selalu menjadi salah satu tempat transit bagi para prdagang bahkan menjadi salah satu tempat untuk menjajakan dagangan bagi para saudagar dari beberapa negara seperti india, arab dan eropa tentunya. Sebagai daerah pegunungan pati juga di jadikan tempat untuk bertapa ataupun sekedar untuk beeristirahat bagi para saudagar. Dengan hadirnya para pedagang dari berbagai daerah mau tidak mau maka tercampurlah tradisi-tradisi lokal, budaya masyarakat dengan pendatang, dan tentunya pula hal ini menjadikan kabupaten ini mempunyai banyak budaya dan tradisi yang beragam.
Kalau di daerah pesisir ada tradisi dan budaya yang sampai saat ini terus di lestarikan Seperti Lombana atau sedekah laut daerah pesisisir, maka di daerah pegunungan/daratan ada tradisi yang namanya Kabumu ( sedekah bumi) contohnya meron di sukolilo pati, seperti halnya sedekah laut, sedekah bumipun mempunyai arti yang sama dengan sedekah laut, akan tetapai cara dan tradisinya yang berbeda, kalau sedekah laut cenderung untuk memanjatkn puji syukur kepada Tuhan atas nikmat dari laut yang begitu besar, begitu pula sebaliknya sedekah bumi demikian juga. Kabumi (sedekah bumi) biasanya di laksanakan antar bulan syawal-bulan dzulhijjah (bulan besar dlm bahasa jawa), kegiatan ini biasanya di lakukan di tempat dimana salah satu cikal bakal dari desa tersebut di mkamkan, sebelum ritual ini di laksanakan, biasanya para ibu rumah tangga memesak berbagai masakan paling enak untuk di bawa ke tempat tersebut, dan makanan-makan tersebut akan di kumpulkan menjadi satu sebelum akhirnya nanti masyarakat setempat berdoa bersama-sama. dan secara bersama-sama makanan tersebut akan di makan, dan sebagian besar nantinya akan di bawa pulang orang dari berbagai daerah untuk di makan, kegiatan ini dulunya merupakan bentuk dari rasa sykur masyarakat kepada Tuhanya atas hasil bumi yang selama satu tahun di berikan.
Seiring dengan berjalanya waktu, sedekah bbumi sekarang bukan hanya sebagai kegiatan syakral masyarakat setempat, akan tetapi sekarang menjadi salah satu tradisi sakral yang di barengi dengan berbagai macam hiburan bahkan menjadi salah satu tradisi masyarakat yang menjadi potensi wisata bagi kabupaten pati, lihat saja contohnya di tunjung rejo, kegiatan ini di lakukan dengan berbagaimacam hiburan seperti pawai bareng yang di iringi dengan berbagai macam kesenian. Acara sedekah bumi sendiri ini sekarang di lakukan hampir satu minggu, biasanya di awali dengan kegiatan-kegiatan keagamaan seoperti Hotmil qur"an, tahlil bersama dan pengajian umum, slain itu juga terdapat berbagai acara tradisional seperti pementasan kethoprak.
Memang acar seperti ini bagi sebagian orang di anggap menyimpang dari nilainilai agama kalu kita lihat dari kacamata yang sangat sempit, akan tetapai kalau kita lihat lebih luas, acara ini merupakan acara ukhiwwah  dan saling mengenal, berkumpul antar masyarakat, selain itu acara ini merupakan acra syukurnya masyarakat setempat dalam memenjatkan puji syukur kepada Tuhuanya.
Apapun itu sedekah bumi sudah menjadi tradisi masyarakat dan kearipan lokal yang harus kita jaga sebagai aset wisata.


Sedekah Laut Desa Bendar Juwana Pati
      https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHQU0qo1BhM-UxuoZdyjf7L73iFLUI17mIyyA3n4d-ew81UzmnKFAIxjP_kSUmFjxj3jzaa-fLA-Oi8s_kL00jYDzxmLBzndv97OU8RfwDLrOvMa9Thqc9D1Fib0cBZU0z4QtzHQHAUsA/s320/sedekah-laut---pati.jpghttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3tMnwKIYpe3z0AU0KqOiG4ebTk3WPMQp_G1DiXxNUYtRS2-kBAg0MftgQ2t55SW6Auhb_iGy_NNpnXBsM5_ZfAYsHGcmYVjt2k7nL7mrFjFMO2XCNIY_KM7596WJ8Pne3oZhoak8Yjng/s208/larung+sesaji.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4FXQyM8yn-BKQgzzP-wgShV7SUVlwhKVAiztEyov-_uYWEqZoC9HCx4qDjH4il2YQ3kpt9Qn430Z5OK76aqV7_smSUZuZE-FALL_cNc1FfGGk-00vcEF3aiAPa3zvIqmFScywWuA1KRQ/s320/sedekah-laut-bendar-juwana-pati4.jpg
Pada bulan syawal tepatnya seminggu setelah Idul fitri pasti akan di adakan acara sedekah Laut, yang biasanya akan diselenggarakan pada hari minggu kecuali minggu wage. Budaya ini adalah sebuah kebiasaan, traktat dan adat peninggalan jaman Hindu Budha, contoh sajen (sesaji). Saat sedekah laut warga pun membuatkan sajen untuk di larungkan ke laut.
Tahun  -1990  setiap warga yang mempunyai alat tangkap pasti membuang sajennya  masing- masing, yang berisi telur dan kembang telon yang lengkap dengan maejan. Akan tetapi acara tersebut sekarang di formalkan dengan mengadakan larung sesaji, dimana semua sajen warga akan di wakilkan menjadi satu Larung sesaji di wujudkan oleh pemerintah desa yang dikemas dalam bentuk jodang sesaji  berisi ndas kebo atau ndas wedhus (kepala kerbau atau kepala sapi) beserta 4 kakinya, kembang telon lengkap dengan maejan, serta degan yang dikrowoki (dilubangi) sedangkan dalamnya diisi dengan gula jawa.  Ada dua Jodang yang di buat, jodang pertama untuk di larungkann kelaut dan yang kedua di kirab bersama hiburan-hiburan misalnya drum band. Tanggapan (tontonan atau hiburan) yang wajib saat sedekah laut ada tiga yaitu Barongan, Ketoprak, dan lomban. Sajen yang kedua setelah di kirab, akan di jadikan batas akhir dari lomban, maksudnya adu balap perahu untuk memperebutkan entok, siapa yang paling banyak mendapatkannya maka itu pemenangnya. Bahkan kata orang lomban itu di saksikan langsung oleh Nyi Roro Kidul.
Lomban di laksanakan di sungai juwana yang di kenal sebagai Bengawan Silugonggo. Masyarakat menyebut seperti itu karena sungai Silugonggo tidak pernah kering, sebenarnya Bengawan itu memiliki larangan, yaitu tidak boleh dikilani (di ukur) dan disombongkan karena itu akan menimbulkan peristiwa yang tidak diinginkan. Contoh dulu pernah diselenggarakan lomba menyebrangi bengawan silugonggo dengan tali yang diikat dari etan sampai kulon kali (timur sampai barat sungai) dan akhirnya tali tersangkut di tiang sehingga banyak korban yang berjatuhan itu dikarenakan sudah berani ngilani bengawan tersebut. Peristiwa itu tepat pada hari minggu wage, itu alasan kenapa sedekah laut tidak boleh dilakukan pada minggu wage.
Karena tidak ada tokoh atau patokan yang jelas maka acara itu selalu berkembang, seperti halnya kirab sesaji yang terus berkembang dengan menyertakan drum band sedangkan orang yang mengikuti prosesi mengenakan pakaian adat pati.
Antusias warga sangatlah besar bahkan bukan hanya warga Desa Bendar saja, banyak warga dari desa lain berbondong-bondong ikut merayakan dan menikmati acara yang berada di Bendar. Saat terlontar pertanyaan “ jika Sedekah Laut tidak ada bagaimana pendapat kalian...?”, maka banyak warga ya ng menjawab acara itu harus ada karena itu sudah di adakan sejak zaman dahulu. Berarti dapat di simpulkan bahwa masyarakat Desa Bendar Juwana Pati mempunyai ketakutan tersendiri jika Sedekah Laut di hapus dari desa mereka.


Tradisi Meron di Sukolilo Pati

 

Tradisi meron di kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang menjadi kirab budaya tahunan biasanya digelar untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah maulid Nabi.
Kirab budaya ini berlangsung dengan serangkaian acara, seperti arak-arakan nasi tumpeng dalam kapasitas yang besar di mana oleh penduduk setempat dinamakan Meron. Tak hanya itu, pawai dan karnaval menjadi bagian dari tradisi perayaan Meron. Berlangsung Minggu (4/1) kemarin, kirab Meron sempat membuat jalan utama Sukolilo-Purwodadi macet total.
Tradisi Meron di Sukolilo Pati
Beberapa peserta memakai seragam khas petani yang menggunakan caping yang melambangkan simbol pertanian yang subur. Beberapa di antaranya dijumpai perempuan-perempuan memakai pakaian khas ala keraton, naga, dan drum band anak-anak serta remaja. Tampak hasil tani penduduk setempat dirangkai dalam gunungan seperti terong, petai, kacang, cabe, padi, hingga buah-buahan. Mirip seperti karnaval yang mengkolaborasikan antara seni, tradisi, dan budaya.
Ada beberapa arti dan makna dari tradisi meron di Sukolilo. Pertama, bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa yang selama ini telah melimpahkan segala rahmat dan anugerah selama setahun dengan hasil pertanian yang melimpah. Rasa syukur ini dalam bahasa Jawa dikenal "selametan".
Kedua, menyambut hari kelahiran Rasulullah Muhammad Saw. Sebagai pembawa risalah umat Islam, kelahiran Nabi selalu diperingati oleh umatnya dari berbagai penjuru dunia, termasuk warga Sukolilo yang berada di wilayah lereng pegunungan Kendeng ini.
Ketiga, melestarikan tradisi dari kisah yang pernah berlangsung saat Pati dan Mataram berseteru. Ketiga arti dan makna tradisi Meron itulah kemudian para warga Sukolilo hingga kini terus melestarikan dan mempertahankan sebagai adat istiadat dari generasi ke generasi.


Sejarah asal mula
Sejarah, legenda, dan asal mula tradisi Meron dilatari pada masa pemerintahan Sultan Agung sebagai penguasa Mataram yang saat itu menyerang Pati saat dipimpin Adipati Pragola.
Sebagai demang di Sukolilo, Ki Suta Kerta yang memiliki kakek dan leluhur di Mataram ia ditugaskan untuk mengabdi di Pati. Sementara itu, saudaranya yang bernama Sura Kadam memilih untuk mengabdi di Mataram. Saat perang pecah berlangsung dan Pati berhasil ditaklukkan Mataram, Sura Kadam menengok saudaranya di Sukolilo.
Mengetahui prajurit Mataram menuju Sukolilo, Sura Kerta ketakukan khawatir ditangkap. Seketika, saudaranya tadi menjelaskan bahwa kedatangannya hanya untuk menjenguk, silahturahmi, dan ingin beristirahat. Dari sini, Sura Kadam terlibat dalam perbincangan dan mengusulkan agar warga Sukolilo mengadakan upacara sekaten untuk memperingati dan menghormati hari lahirnya Nabi Muhammad Saw sekaligus menghibur rakyat.
Sontak, penduduk menyambutnya dengan riang dan gembira. Dari sini, tradisi sekaten yang selalu ditandai dengan adanya gunungan yang diarak disebut dengan meron yang artinya rame dan iron atau tiron. Sementara iron berarti tiruan.


Tradisi 10 Sura Syekh Ahmad Al-Mutamakkin

http://www.patinews.com/wp-content/uploads/2013/05/KH-AHMAD-MUTAMAKIN-Mbah-mutamakin-kajen2.jpg
Tradisi 10 Sura Syekh Ahmad Al-Mutamakkin kabupaten Pati merupakan sebuah upacara tradisional khoul yang dilaksanakan oleh masyarakat Kajen Pati dan sekitarnya. Upacara khoul ini merupakan kegiatan ritual yang dilaksanakan dengan tujuan untuk menghormati dan memuliakan Syekh Ahmad Al-Mutamakkin dengan memohon ampun dan mengirim doa atau memanjatkan doa sebagai peringatan setelah seribu hari meninggalnya (nyewu=Jawa).
Tokoh Syekh Ahmad Al-Mutamakkin dipercaya sebagai wali penyebar agama Islam di daerah Pati dan sekitarnya. Kisah hidupnya ditulis dalam Serat Cabolek yang dikarang oleh Raden Ngabehi Yasadipura I pada masa pemerintahan Pakubuwana II pada masa pemerintahan Surakarta pada abad ke-18. Salah satu tujuan dilaksanakannya tradisi khoul yang dijuluki dengan tradisi 10 Sura Syekh Ahmad Al-Mutamakkin adalah sebagai sarana untuk menghormati dan mengenang akan keberadaan jasa-jasa beliau.
Tradisi inidilaksanakan satu tahun sekali yang merupakan acara rutin pada setiap bulan Sura. Prosesi khaul 10 Sura Syekh Ahmad Al-Mutamakkin ini diawali mulai tanggal 6 Sura dan diakhiri pada tanggal 11 Sura. Waktu tersebut dipilih sebagai pelaksanaan upacara ritual dikarenakan bulan Sura atau yang bertepatan dengan bulan Muharam bagi masyarakat Jawa merupakan bulan yang sakral dan dianggap bulan yang baik untuk mengadakan ritual atau tradisi tertentu. Bulan Muharam (Sura=Jawa) bagi masyarakat Islam adalah tahun baru Hijriyah dan biasa digunakan sebagai sarana mendekatkan diri dengan Sang Khalik. Pada upacara tersebut terdapat berarapa rangkaian ritual keagamaan yang dilaksanakan antara lain;
Tahtiman Al-Quran Bilghoib dan Binnadhor, buka selambu dan pelelangan, serta tahlil khoul.


Kirab Budaya Masa Lalu di Hari Jadi Kota Pati

Dalam acara kirab yang dilakukan setiap lima tahun sekali ini memberikan kesan yang baik terhadap para siswa atau pelajar di Pati
Dalam acara kirab yang dilakukan setiap lima tahun sekali ini memberikan kesan yang baik terhadap para siswa atau pelajar di Pati
Citizen6, Pati Prosesi perjalanan Kirab Hari Jadi Kabupaten Pati ke 691 jatuh setiap tanggal 7 Agustus diadakan secara sederhana namun penuh dengan kesakralan memberikan arti tersendiri dalam mengenang perjuangan para lelulur pendiri Kadipaten Pati. Diawali dengan doa bersama para Pemimpin Pati dan masyarakat Pati di bekas Pendopo Kadipaten Pati desa Kemiri Sarirejo secara seksama dan penuh keakraban sebelum kegiatan kirab dimulai menjadikan prosesi Hari Jadi Kabupaten Pati semakin mengena.
Iring-iringan perjalanan kirab yang diawali dengan tujuh kereta kuda yang ditumpangi Bupati Pati Haryanto, Wakil Bupati Budiono, Kapolres Pati AKBP Budi Haryanto, Dandim Pati Heri Setiyono, Ketua Dewan Sunarwi dan jajaran Forkompimda, Kepala SKPD, para Camat dan Lurah serta melibatkan sejumlah Anggota Dewan.
Perjalanan kirab yang dimulai pukul 09.00 pagi itu memberikan kenangan tersendiri bagi warga masyarakat yang sejak pagi menunggu di sepanjang jalan protokol dari desa Kemiri ke desa Pati Lor tempat Pendopo Kabupaten sekarang. Kesan sakral dan penuh kekaguman selalu menghias dalam perjalanan kirab tatkala para pemimpin Pati mengenakan pakaian adat kebesaran jaman pemerintahan Kadipaten Pati dahulu.
Dalam acara kirab yang dilakukan setiap lima tahun sekali ini memberikan kesan yang baik terhadap para siswa atau pelajar di Pati ketika menyaksikan langsung perjalanan kirab dengan sentuhan sebagai mana yang pernah terjadi di masa dahulu. Selain memberikan cinta terhadap tanah air juga mengenang jasa-jasa para leluhur dan budaya di Kabupaten Pati. Prosesi semakin mengena di hati masyarakat dan pelajar ketika pusaka Keris Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigoro sebagai simbul persatuan dan kesatuan ikut diarak dalam kirab Hari Jadi Kabupaten Pati.  

Tradisi-Tradisi Sendang Sani
http://www.promojateng-pemprovjateng.com/fotopromo/1668595991sendang%20sani.jpg
Sebagai salah satu tempat dan situs bersejarah, Sendang Sani memiliki tradisi yang dari dulu sampai sekarang masih berkembang. Tradisi tersebut terus dibudidayakan hingga saat ini dengan tujuan agar orang-orang zaman sekarang masih dapat mengetahui tentang tradisi tersebut.
Salah satu tradisi yang masih tetap berkembang di kawasan Sendang Sani yaitu upacara Handodento. Upacara Handodento selalu dilaksanakan setiap tahun tepatnya setiap bulan Mulud (Rabiul Awal).
Adapun tata upacara Handodento yaitu diikuti oleh beberapa orang dari Yayasan Handodento yang berada di Yogyakarta. Orang-orang tersebut datang ke Sendang Sani dengan mengenakan pakaian lengkap jawa asli, yaitu berupa jarik (semacam kain yang lebar dan memiliki motif batik atau biasanya disebut dengan kain batik, biasanya dilengkapi dengan kemben sebagai pasangannya untuk mengenakan jarik ini) dan kebaya serta juga  disertai dengan sanggul asli jawa bukan sanggul modern bagi kaum wanita. Berbeda dengan kaum wanita, untuk kaum lelaki hanya menggenakan jarik, pakaian beskap (sebuah pakaian asli jawa yang bentuknya seperti jas namun jas tersebut lebih pendek), serta juga mengenakan blangkon (seperti topi atau tutup kepala yang terbuat dari kain, biasanya kain yang digunakan untuk membuat blangkon berasal dari kain batik).
Para peserta upacara Handodento kemudian berjalan dari dalam Sendang Sani sampai dengan makan Adipati Pragola Pati yang lokasinya tidak begitu jauh dari kawasan Sendang Sani. lokasinya hanya sekitar berjarak kurang lebih 100 m dan hanya melewati sebuah jalan yang menanjak di mana di sebelah kanan dan kirinya terdapat sawah-sawah milik penduduk sekitar. Mereka berjalan dengan berbaris serta berjongkok dengan pelan-pelan. Dan sesampainya di makam Adipati Pragola Pati, para peserta upacara melakukan beberapa ritual kejawen.
Selain tradisi upacara Handodento, juga ada tradisi syukuran. Sebenarnya syukuran bukan termasuk tradisi karena tidak rutin dilakukan. Namun, ada beberapa warga yang mengatakan kalau syukuran termasuk tradisi karena masih beberapa warga yang menjalaninya. Namun, tradisi ini hanya dilakukan oleh penduduk sekitar, tidak dilakukan oleh suatu yayasan. Biasanya syukuran diadakan oleh penduduk yang baru saja menerima suatu berkah atau anugrah yang besar ataupun biasanya yang sebelumnya disertai dengan nadzar.
Syukuran yang dilaksanakan biasanya ditandai dengan adanya nasi tumpeng dan seekor ingkung (seekor ayam yang dibiarkan tetap utuh atau dengan kata lain tidak dipotong-potong dan langsung dimasak, biasanya dimasak opor). Adapun tempat diadakan syukuran yaitu di sebuah tempat seperti sebuah pendopo yang berukuran lebih kecil di mana letaknya berdekatan tepat di samping tempat Sendang Sani berada.
Adapun beberapa acara yang biasanya dilakukan saat syukuran berlangsung yaitu diantaranya doa bersama dan diakhiri dengan pemotongan tumpeng sebagai tanda bersyukur atas berkah dan anugrah yang diberikan oleh Allah. Para peserta syukuran juga biasanya memberikan telur rebus kepada bulus yang terdapat pada Sendang Sani sebagai makanan bulus tersebut.


Ritual Kungkum

Menurut budayawan Darmanto Djatman, kungkum merupakan tradisi yang telah ada sejak masa Hindu. Dengan kedatangan Hindu, tradisi ini kemudian berakulturasi. Kungkum dimaksudkan sebagai media pembersihan jiwa yang kotor baik secara lahir maupun batin. Sayang, dalam perkembangannya ritual ini mengalami pergeseran dari sifat sakral ke profan.
Sementara itu, tradisi lain yang biasa dilakukan masyarakat dalam menyambut bulan Sura adalah puasa. Beberapa jenis puasa seperti ngrowot (hanya makan jenis pala kekendhem, pala kesampar sarta pala gumantung), mutih, ngepel (hanya makan nasi segenggam tanpa lauk pauk), serta pati geni.
Ritual lainnya adalah selamatan Sura dengan berbagai jenis makanan seperti bubur abang putih, jenang baro-baro yang dibuat dari ketan atau beras, serta tumpengan.
Ritual jamasan pusaka merupakan salah satu momen penting bagi orang Jawa. Dalam ritual tersebut, barang-barang pusaka seperti keris, tombak, pedang, dan benda-benda lain yang dianggap berkekuatan di luar nalar dibersihkan dengan minyak wangi tertentu.
Kolektor keris St Sukirno menjelaskan, tujuan jamasan tersebut agar bebas dari sengkala (marabahaya) karena setiap pusaka diakui memiliki kekuatan di luar nalar. ''Kalau keraton memilih waktu jamasan pada 1-10 bulan Sura, orang kebanyakan akan memilih waktu di luar hari tersebut. Sebab, orang Jawa kebanyakan tidak berani menyamai keraton,'' ujarnya.
Dia mengemukakan, kualitas suatu keris dapat dilihat dari pamor, dapur, jenis besinya, empu pembuatnya, dan tuah. Agar keris tidak mengalami pengaratan pada proses jamasan biasa digunakan wewangian tertentu. Minyak untuk jamasan ini adalah minyak cendana, minyak melati, minyak kenanga, minyak mawar, dan minyak kelapa sawit.
''Pertama kita berdoa agar tetap terjaga kelestarian benda tersebut dan berdoa ada kemanfaatan atas pelestarian benda pusaka ini,'' ungkapnya sambil menunjukkan sebilah keris.



Khoul Syeh Ronggo Kusuma, Margoyoso-Pati

Khoul Syeh Ronggo Kusuma merupakan upacara adat untuk memperingati hari kematian sesepuh desa yang telah berjasa dalam penyebaran agama Islam di desa Ngemplak Kidul.

Sekilas Tentang Syeh Ronggo Kusumo
Desa Ngemplak kidul dibuka oleh Mbah Ronggo Kusumo beserta para murid dan keluarganya. Mbah Ronggo Kusumo adalah salah satu wali lokal yang menyebarkan agama Islam. Raden Ronggokusumo adalah putera Ki Agung Meruwut yang masih keponakan KH.Ahmad Mutamakkin. Ia diperintahkan untuk membuka tanah (menebang hutan) disebelah barat Desa Kajen. Perintah beliau dilaksanakan penuh tanggungjawab sehingga dalam waktu yang singkat (konon dalam waktu satu malam) tanah tersebut terlihat emplak-emplak, sehingga oleh beliau dinamai Desa NGEMPLAK.
Raden Ronggo Kusumo menetap di Desa tersebut dan berjasa besar dalam menyiarkan Agama Islam. Masyarakat desa Ngemplak Kidul dan sekitarnya sangat menghormati Mbah Ronggo Kusumo. Hari wafat beliau, 10 Sapar (Arab: Safar) diperingati sebagai "Khaul Syekh Ronggo Kusumo."
·         Prosesi upacara adat
Khoul Syeh Ronggo Kusuma diperingati pada tanggal 10 Sapar setiap tahun. Sebelum acara inti biasanya diadakan pengajian dan khotmil qur’an di masjid Syeh Ronggo Kusumo. Dalam acara tersebut banyak pengunjung yang datang ke masjid untuk ikut berpartisipasi dalam pengajian dan khotmil qur’an. Pada tanggal 10 Sapar akan diadakan acara “lelang kain kafan (mori)” yaitu melelang mori yang digunakan untuk menutupi kubur mbah Ronggo. Karena dalam setiap tahun kain kafan yang digunakan untuk menutupi kuburan mbah Ronggo harus diganti dengan yang baru. Bagi siapa yang berani menawar dengan harga yang tinggi berarti itulah yang mendapatkanya. Dalam lelang kain kafan bisa  mencapai 17 juta lebih.  Biasanya acara tersebut diadakan pada tanggal 10 Sapar di pagi hari.
Selain acara inti, biasanya diadakan pula acara-acara lain yaitu diadakan tontonan berupa drumband, barongan, ketoprak, dangdutan, wayang dll. Pada tanggal 10 Sapar, di makam mbah Ronggo banyak para pengunjung yang datang untuk berziarah, baik itu dari desa Ngemplak Kidul sendiri maupun dari luar desa Ngemplak Kidul. Selain pada hari peringatan tersebut, di makam mbah Ronggo juga tidak sepi oleh pengunjung untuk berziarah dan pada puncaknya yaitu setiap malam jumat wage. Para peziarah disini tidak mengharapkan berkah yang datang dari mbah Ronggo tersebut melainkan mengharapkan berkah dari Allah SWT melalui waliyullah yaitu Syeh Ronggo Kusumo. Jadi masyarakat di desa Ngemplak tidak menganggap kalau hal tersebut syirik karena mereka tidak meminta-minta kepada mbah Ronggo tetapi tetap meminta-minta kepada Allah dengan perantara mbah Ronggo.
Di makam mbah Ronggo ini terdapat masjid yang biasanya digunakan para santri untuk menghafal Al-Qur’an dan digunakan para peziarah untuk membaca tahlil dan yasin. Biasanya para peziarah sangat khusu’ dalam berdo’a bahkan sampai ada yang terisak-isak menagis. Mereka yakin bahwa do’a mereka akan dikabulkan oleh Allah melalui perantara mbah Ronggo. Di kompleks makam mbah Ronggo ini juga digunakan oleh masyarakat desa Ngemplak Kidul sebagai pemakaman umum bagi masyarakat desa Ngempalk Kidul sendiri. Masyarakat desa Ngemplak Kidul sangat menghormati dan mengagumi perjuangan mbah Ronggo dalam menyebarkan agama Islam di desa Ngemplak Kidul. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Sapar diadakan Khoul Syeh Ronggo Kusumo.


Haul Syeh Jangkung

Haul Syeh Jangkung diperingati pada 15-16 Rajab di mana pada malam-malam peringatan ini banyak peziarah berdatangan untuk berziarah maupun ngalap berkah.
Haul Syeh Jangkung juga diperingati pengelola dengan menyelenggarakan pengajian. Biasanya haul Syeh Jangkung dimulai dengan acara ganti kelambu kemudian disusul dengan acara pengajian dan pasar malam.
Pada saat haul Syeh Jangkung inilah banyak pengunjung bukan hanya datang dari warga Pati, tetapi juga dari berbagai provinsi hingga mancanegara, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera, Malaysia hingga Singapura. Selain hari haul, makam Syeh Jangkung dipadati pengunjung pada malam Jumat atau kamis malam.
Saat ini, Makam Syeh Jangkung memiliki juru kunci yang dipercaya sebagai keturunan Syeh Jangkung sendiri, yaitu RH Damhari Panoto Jiwo yang merupakan keturunan Syeh Jangkung ke-11.
Salah satu petilasan yang ditinggalkan Syeh Jangkung adalah sumur kampung ndonga di mana dulu sumur ini digunakan Saridin (Syeh Jangkung) untuk minum saat Saridin tidak diberi minum oleh orang kampung mengingat waktu itu benar-benar kemarau dan musim kekeringan. Dari peristiwa itu, Saridin menancapkan pusaka ke tanah lalu muncul air. 

Ajaran-ajaran Syeh Jangkung Saridin
Ajaran-ajaran syeh Jangkung Saridin adalah sebagai berikut. Ajaran-ajaran Syeh Jangkung ini sudah dialihbahasakan dengan Bahasa Jawa logat khas Pati. "Ojo njikuk nek gak dikongkon, ojo njaluk nek gak nggone." Arti dari ajaran Syeh Jangkung Saridin ini adalah jangan mengambil kalau tidak diperintah atau tidak mendapatkan izin dari yang punya, jangan meminta kalau bukan miliknya.
Dengan ajaran tersebut, Saridin mengajarkan kita untuk mengedapankan kejujuran, keikhlasan dan kemandirian dalam menjalankan sebuah kehidupan. Tak hanya itu, Syeh Jangkung juga mengajarkan kita untuk tidak saling membenci, jangan suka iri dan jangan suka bertengkar. Jangan suka mengambil barang yang bukan miliknya juga menjadi ajaran Syeh Jangkung Saridin yang sangat populer di kalangan masyarakat yang disarikan dalam sebuah pementasan wayang ketoprak.
Ajaran tersebut dinasehatkan dalam kata: ojo jrengki, ojo srei, ojo tukar padu, ojo dahpen kemeren, ojo kutil jumput, ojo beghog colong. Demikian ajaran-ajaran Syeh Jangkung Saridin yang bisa menjadi teladan bagi generasi penerus bangsa.
Oleh karena itu, wisata sejarah di Makam Syeh Jangkung Saridin tidak ada salahnya, bahkan menjadi satu refleksi untuk mengisi kemerdekaan dengan ajaran-ajaran yang dipesankan oleh Syeh Jangkung Saridin. Napak tilas sejarah di Makam Syeh Jangkung menjadi menyenangkan apabila disertai niat untuk mencontoh kisah teladan dari perjalanan panjang Syeh Jangkung Saridin. (Ditulis secara eksklusif oleh tim Wisata Sejarah Direktori Pati).

Haul Sunan Prawoto

http://www.koranmuria.com/wp-content/uploads/2015/05/Pati-Kirab-Sunan-Prawoto.jpg
Sebagai salah satu wali Allah, nama Sunan Prawoto ternyata masih memberi tempat tersendiri bagi sejumlah warga Pati bagian Selatan khususnya Sukolilo. Setiap tanggal 17 Rajab, warga memperingati haul Sunan Prawoto.
Sikap hormat masyarakat terhadap tokoh agama yang kharismatik itu terlihat dalam khaul tersebut. Ratusan bahkan ribuan warga nampak begitu antusias dalam mengikuti jalannya prosesi khaul. Terlebih dalam acara kirab yang digelar pada Selasa (5/5) kemarin. Sepanjang jalan kampung tersebut dipenuhi warga yang hendak menyaksikan arak-arakan itu.
Tidak saja dari Desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo namun sejumlah warga dari daerah lain seperti Kudus maupun Demak dan Grobogan juga turut berdatangan. Sejak tanggal 16 Rajab siang sampai sore, kain luwur atau penutup makan Sunan Prawoto akan diarak dalam kirab tersebut. Kain luwur itu akan dibawa mengelilingi jalan desa hingga sekitar lima kilometer jauhnya.
Dalam kirab itu, terlihat sejumlah gadis desa yang mengenakan kostum tradisional, barisan anak sekolah, dan juga pemuda yang turut serta membawa hasil karya dan hasil buminya. Arak-arakan dimulai dari lapangan balai desa, menuju ke makam Sunan Prawoto yang terletak di Dukuh Bertolo, Desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo.
Sesampainya di makam, kain luwur atau lurup itu akan diserahkan kepada juru kunci makam untuk selanjutnya dipasangkan kembali. “Sedangkan untuk kain luwur yang lama nantinya akan kami simpan,” terang Ketua Panitia Haul Sunan Prawoto, Ana Masuran Selain kain luwur salah satu tradisi yang identik dalam arak-arakan itu adalah disertakannya ikan lengkur.

Bumbu Garam
Warga Prawoto biasanya akan membuat ikan lengkur atau ikan gabus yang dibakar hingga melengkung dan diberikan bumbu garam dengan lombok merah. Ikan itu kemudian dibungkus dalam takir atau daun pisang. Keyakinan masyarakat, ikan lengkur disimbolkan sebagai hasil panen yang melimpah.
Baik dari sisi perikanan maupun pertanian masyarakat. “Itu sebagai sebuah simbol doa masyarakat,” ujar Icuk Pranoto Aji, warga Dukuh Sewunegaran, Desa Prawoto. Peringatan khaul Mbah Sunan Prawoto itu, oleh warga sekitar akrab disebut sebagai Rajabiyah atau Rejeban.
Peringatan itu dilakukan sebagai salah satu bentuk penghormatan warga lantaran Sunan Prawoto telah berjasa menyebarkan Islam di tempat tersebut. Sosok Sunan Prawoto sendiri, diyakini sejumlah warga sekitar sebagai Raden Bagus Hadi Mukmin atau seorang raja Demak keempat yang memerintah pada tahun 1546 hingga 1549 atau sepeninggal Sultan Trenggana.
Raden Mukmin dikenal seabgai orang yang lebih suka hidup sebagai seorang ulama dibandingkan menjadi seorang raja. Semasa pemerintahannya, Raden Mukmin memindahkan pusat pemerintahan Bintoro ke bukit Prawoto dan menyebarkan agama Islam disana.
Ketua Panitia Haul Sunan Prawoto, Ana Masuran mengatakan, selain kirab budaya dalam khaul tersebut juga turut digelar sejumlah rangkaian acara. Seperti pasar rakyat, turnamen voli, hingga khataman Alquran.