WALI SONGO
ARTI
NAMA WALI SONGO :
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama
adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga
dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga
berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat
lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah
majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik
Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah
Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan
Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad
Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra’il (dari Champa), Maulana
Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu
masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk
manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam,
perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
1.
Sunan Gresik ( Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim adalah
keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan
Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Maulana Malik Ibrahim
memiliki 3 isteri. Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama
yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam
dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang
tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati
masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun
pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim
wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Peninggalannya:
·
Masjid
Malik Ibrahim Pesucinan Leran
2.
Sunan Ampel ( Raden Rahmat )
Sunan Ampel bernama asli Raden
Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra
Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro
Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Sunan Ampel umumnya dianggap
sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta,
Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa.
Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri
adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki
Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng
Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan
Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel
dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi
Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan
Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan Ampel
teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
Peninggalannya :
3.
Sunan Bonang ( Makhdum Ibrahim )
Sunan Bonang adalah putra Sunan
Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan
Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan
Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar
memeluk agama Islam. Beliau adalah salah satu pejuang di tanah jawa,juga
seorang tokoh pejuang islam di tanah jawa,Juga seorang Pendiri kerajaan Islam
di Demak,Jawa Tengah,Area dakwah nya ada di jawa tengah dan jawa timur,khusus
nya di daerah tuban dan lasem. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil
dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang.
Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang
sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya
sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang.
Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja
mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.
Peninggalannya :
a.
Bende
b.
Gerbang Asli Kuno
4.
Sunan Drajat ( Raden Qasim)
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan
demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang
bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat
tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui
laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan
sekarang.
Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat
berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur,
yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan. Dalam pengajaran tauhid dan
akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak
mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi
cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di
antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada
yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’. Sunan Drajat juga dikenal sebagai
seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak
memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Peninggalan :
5.
Sunan Kudus ( Ja’far Shadiq )
Sunan Kudus adalah putra Sunan
Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang
bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan
Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar
dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat
Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah
di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi
muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati
Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara
Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus
diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Peninggalan :
a. Masjid
Menara Kudus
b.
Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk
tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati
masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong
kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh
masyarakat Kudus hingga saat ini.
6. Sunan
Giri ( Raden Paku atau Ainul Yaqin )
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias
Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada
1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan
dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri
raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut
anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma). Ayahnya adalah Maulana
Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil
meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena
itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih.
Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya
seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan
cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending
Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
Peninggalan :
a. Masjid
Sunan Giri
b. Giri
Kedaton
c.
Telogo Pegat
7.
Sunan Kalijaga ( Raden Said )
Dialah “wali” yang namanya paling banyak
disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah
Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit,
Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah
Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh
Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman. Masa hidup Sunan Kalijaga
diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa
akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon
dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal
kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula
merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
“tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah
kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor
sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung
“sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga
memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.Ia sangat
toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti
sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami,
dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan
sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan,
serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa,
perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi
Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta
masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat
efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga.
Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta
Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu
-selatan Demak.
Peninggalan :
a. Masjid
Sulthoni
b. Bonang
c.
Ritual Kirab Senjata
8.
Sunan Muria ( Raden Umar Said )
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan
Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya
adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di
lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak
mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan
Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota
untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan
bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik
internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu
memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya
pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria
berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu
hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Peninggalan :
a. Masjid
Hasil Karya Sunan Muria
9.
Sunan Gunung Jati ( Syarif
Hidayatullah )
Banyak kisah tak masuk akal yang
dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah
mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah
SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon
Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan
kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai
Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya
adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani
Hasyim dari Palestina.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati
adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati
memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam
dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia
menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat
dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar
wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan
ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela
penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan
Banten.Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya
menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada
tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu
Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15
kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
Peninggalan :
a. Kumandang Adzan Pitu
b. Masjid
Merah Panjunan
c.
Kereta